Friday, July 8, 2011

KELUARGA YANG BAHAGIA


 KELUARGA YANG BAHAGIA[1]
Pdt. Dr. Richard Daulay[2]

     MISTERI KESATUAN SUAMI-ISTERI
(Kejadian 2: 18; Matius 19: 1-12)

Uraian Yesus tentang makna pernikahan itu bertolak dari pertanyaan orang Farisi mengenai perceraian. Pertanyaan Farisi kepada Yesus: Apakah seorang suami diperbolehkan menceraikan istrinya? (Matius 19:3) Pertanyaan ini muncul karena memang pada saat itu masalah perceraian ini merupakan topik yang hangat diperdebatkan di kalangan guru-guru (rabbi) orang Yahudi. Pada zaman itu di tengah masyarakat Israel tali pernikahan sangat  kan, tidak jarang seorang laki-laki  men­ceraikan istrinya gara-gara nasi mentah. G      ampang menikah tetapi juga gampang bercerai, begitulah kehidupan keluarga zaman itu, yang tidak jauh berbeda dengan situasi di Amerika sekarang ini.
         Akar masalah “kawin-cerai” ini adalah bahwa dalam  Perjanjian Lama (Ulangan 24:1) ada ketentuan taurat Yahudi tentang perceraian yang menggariskan: "Apabila seseorang mengambil perempuan, dan menjadi suaminya dan jika dia tidak menyukai lagi perempuan itu, sebab didapatinya yang tidak senonoh padanya, lalu ia menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu, sesudah itu menyuruh dia pergi dari rumahnya...."         
          Interpretasi ayat ini berbeda-beda bagi masyarakat Yahudi di waktu itu. Ada yang mengatakan, bahwa seorang yang berzinah itu dapat diceraikan. Ada lagi yang memperlonggar malah dengan mengatakan, kalau tidak cinta lagi boleh diceraikan. Masalah inilah dihadapkan kepada Yesus menanyakan  penda­patnya. Pertanyaan ini adalah sebuah jebakan. Kalau Yesus katakan boleh mencerai­kan, maka Yesus itu tidak ada istimewanya. Dia hanya mengajarkan yang biasa saja. Sebaliknya kalau Yesus mengatakan tidak boleh cerai, maka Ia mengajarkan hal yang sangat sulit, sehingga tidak ada yang sanggup mengikutinya. Tetapi Yesus tidak bisa dijebak. Ia tidak menjawab pertanyaan sesuai selera orang banyak. Yesus malah mengajak mereka merenungkan apa maksud Tuhan dengan perkawinan itu sejak mula pertama. Yesus membuat penegasan ulang tentang pernikahan itu.    
          Pertama, pada  awal mula, Allah menjadikan  manusia laki-laki  dan perempuan. Artinya prakarsa nikah itu pertama-tama datang dari inisyatip Allah: "Tidak baik laki-laki itu seorang diri". (Kejadian 2: 18) Kedua, orang yang kawin itu meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya. Artinya kalau sudah kawin berarti sudah dilepaskan dari ikatan lama yakni orang tua dan masuk ikatan baru yakni suami dan isteri. Ketiga, kedua orang yang menikah itu, keduanya menjadi satu daging. Artinya tidak ada lagi pemisah diantara keduanya. Mereka sudah satu hati, satu pikiran, satu roh, satu tujuan, satu pen­deritaan dan satu suka serta satu dalam segalanya. Mereka tidak dua lagi tetapi satu. Wujud tentu dua, tetapi hakekat  sudah satu. Itulah artinya kawin. Lalu bagaimana memisah yang satu jadi dua? Itu tidak mungkin. Kalau dipaksakan pasti terkoyak. Sama dengan dua kertas yang dilemkan menjadi satu, kalau diceraikan, pasti kertas itu dua-duanya akan rusak dan sobek. Demikianlah pernikahan yang dipaksakan cerai oleh manusia, pasti tidak hanya perempuan atau hanya laki-laki yang menderita, tetapi keduanya. Keempat, apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia. Artinya siapa yang menceraikan yang dipersat­ukan Allah merusak karya Allah.
          Dalam uraiannya tentang perkawinan, Tuhan Yesus lebih jauh (dari ajaran Perjanjian Lama) menggariskan bahwa laki-laki dan perempuan yang dipersatukan melalui ikatan perkawinan itu sesungguhnya bukan lagi dua, tetapi mereka back to the basic, kembali menjadi satu. (Matius 19: 6) Allah mempertemukan dan mempersatukan mereka berdua kembali, yang memang dari sejak awal adalah berpasangan. Kata dipersatukan dalam ayat ini mengandung makna yang sangat dalam. Dalam bahasa Yunani disebut: SUNEZEUXEN yang diterjemahkan ke dalam bahasa In­ggris: yoked together atau  joined together. Kata yoked together artinya disatukan dengan sebuah kuk. Sama seperti dua ekor kerbau pembajak yang disatukan dengan sebuah kuk, maka kedua ekor ternak itu  diikat dengan kuat oleh tali pengikat,  sehingga tidak bisa lepas satu dengan yang lain. Konsekwensi ikatan ini ialah: kedua kerbau pembajak itu harus berjalan satu arah dan melangkah bersama-sama sambil menarik bajak searah dan sepandangan. Tidak bisa satu di belakang dan satu di depan. Keduanya harus beriringan. Tidak boleh satu tidur, satu berjalan. Tidak boleh satu ke kiri dan satu ke kanan. Kalau satu ke kiri harus diikuti oleh yang satu lagi. Demikian sebaliknya. Itulah konsekwensi logis dari dua insan yang telah dipersatukan (yoked together).
          Berdasarkan metafora itu, maka satu laki-laki yang di yoked (diikatkan) dengan satu perempuan lewat perkawinan, tidak bisa tidak: harus berdiri sejajar, sama-sama di depan dan sama-sama di belakang. Berjalan ke arah dan tujuan yang sama. Tidak mungkin masing-masing punya tujuan sendiri-sen­diri. Sama-sama senang di waktu senang; sama-sama sedih di waktu sedih; sama-sama menangis di waktu susah; sama-sama tertawa waktu gembira; sama-sama miskin dan sama-sama kaya.        
          Bagaimana ini terjadi? Memang, perkawinan adalah suatu misteri, suatu rahasia yang hanya dapat dialami dan tidak dapat dijabarkan. Kendati ada ahli-ahli penasehat perkawinan dan professor di bidang seksuologi, tetapi tidak seorangpun pernah mahir dalam hal misteri perkawinan ini. Bisa saja ahli penasehat perkawinan itu mengalami kegagalan dalam perkawi­nannya. Tuhan sendirilah yang ahli dan yang tahu tentang misteri perkawinan itu. Menurut ajaran Tuhan, agar supaya kedua belahan manusia itu (laki dan perempuan) sungguh-sung­guh dapat kembali kepada hakekatnya yang asli menjadi satu, (menyatu) kuncinya adalah ini: "Seorang laki-laki harus meninggalkan ayahnya dan ibunya, dan bersatu dengan isterin­ya" (Kejadian 2:24).  Dalam bahasa Inggris disebut to leave dan bukan  to abandon .  Kata to leave artinya "berpisah untuk kembali lagi", sedangkan to abandon artinya "berpisah dan tidak akan kembali lagi". Jadi meninggalkan orangtua bukan berarti berpisah dengan mereka untuk selamanya, atau tidak ada lagi hubungan sama sekali dengan mereka. Saya memahami ayat ini demikian. Pada mulanya, sebelum kedua belahan itu dipertemukan Tuhan, maka obyek cinta kasih laki-laki dan perempuan adalah orangtuanya. Tetapi setelah keduanya diper­satukan oleh hubungan perkawinan, maka obyek pertama dan utama cinta itu beralih dari orangtua kepada isteri atau suami. Dengan kata lain, sejak detik perkawinan terjadi, maka cinta laki-laki kepada isterinya harus lebih besar dan lebih sungguh-sungguh kepada istri ketimbang kepada siapapun di dunia ini, termasuk orangtua. Kalau seorang laki-laki masih mencintai orangtua lebih dari pada istrinya, atau seorang istri mencintai orang­tua lebih dari suaminya, pasti keduanya tidak pernah secara sempurna dipersatukan, dan pasti pula mereka tidak tiba pada kebahagiaan dan misteri perkawinan.  Dan hanya perkawinan yang sungguh-sungguh  dipersatukan dan berbahagia yang menja­di sukacita dan berkat bagi setiap orangtua.

MENGASUH ANAK
(Matius 19 : 13-15; Markus 10: 13-16)

Saya mulai dengan sebuah kutipan sbb:

Former President George H.W. Bush was asked this question, “What is you greatest accomplishment in life?” President Bush might have mentioned his success during World War 2 as a Navy pilot. He might have called to mind his 8 years as Vice President under Ronald Reagan. He might have mentioned his own successful presidency. He might have spoken of his time as the head of the CIA, or of his years as U.S. Ambassador to China. He could have bragged about his success during Operation Desert Storm. But, when answering this question, President Bush revealed his heart as well as his priorities when he said, “My greatest accomplishment is that my children still come to see me.

          Anak adalah segalanya. Anak adalah sumber kebahagiaan. “Anakkonki do hamoraon di ahu” (kata orang Batak). Tetapi anak bisa juga menjadi sumber kesusahan bagi orangtua. Tergantung bagaimana orangtua membesarkan anaknya. Bagi banyak keluarga (Kristen), melahirkan anak bukan soal yang sangat sulit. Yang tersulit dalam rumah tangga ialah bagaimana membawa anak itu kepada Tuhan, sehingga kelak anak-anak kita tidak jatuh dalam pelukan iblis, menjadi orang nakal, orang jahat dsb. Kita melihat dalam kenyataan hidup, betapa banyaknya keluarga Kristen yang gagal mendidik anak-anaknya. Bukan materi, uang, biaya sekolah yang pokok buat anak-anak. Yang paling pokok bagi anak ialah mereka harus berada dalam pelukan Yesus. Sebagaimana ibu-ibu dalam perikop (Markus 10: 13-16) ini membawa anak-anak kepada Yesus untuk diberkati Yesus, maka demikianlah kiranya setiap ibu-ibu rumah tangga Kristen membawa anak-anaknya kepada Yesus. Bukan hanya membawa dalam acara pembaptisan, tetapi setiap hari harus membimbimg anak-anak supaya mengenal Yesus dan berjalan dalam jalan Yesus. Suami-istri yang cekcok dan cerai badani atau hati, tidak mungkin dapat membawa anak-anaknya ke pelukan Yesus.
          Setelah Yesus menguraikan tentang hubungan suami isteri, maka dia menjelaskan mengenai bagaimana seharusnya anak diasuh dan dibesarkan dalam keluarga. Ketika ibu-ibu membawa anaknya kepada Yesus untuk diberkati, murid-murid Yesus marah kepada ibu-ibu itu. Sesuai dengan konteks pada zaman itu, murid-murid Yesus itu melihat anak sebagai urusan kecil dalam kerangka kerajaan Allah yang jauh lebih besar. Seperti dalam banyak budaya suku-suku bangsa di dunia, anak dianggap “rendah” dan tidak masuk dalam hitungan. Bagi murid-murid Yesus, urusan anak-anak terlalu kecul bagi Yesus. Sikap seperti itu ditentang Yesus. Tidak terlalu kecil anak-anak buat Dia, malah itu sangat pokok. Justru dalam pengajaran Yesus (Matius 18: 1-5) Dia mem­buat anak-anak itu sebagai ilustrasi, bahwa setiap orang yang datang kepada Yesus hatinya harus seperti anak-anak, yaitu polos, tergantung kepada Yesus, tidak ragu-ragu dan rendah hati. Yesus berkata: “Biarkanlah anak-anak itu, jangan menghalang-halangi mereka datang kepadaKu; sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Sorga.” (Matius 19: 14).

TUHAN, KELUARGA DAN KERJA (KARIR)

Apakah prioritas dalam kehidupan ini? Apakah yang harus kita utamakan pertama-tama, kedua, ketiga dan seterusnya? Paling sedikit ada tiga point yang paling kita utamakan dalam hidup: Tuhan, Keluarga, pekerjaan. Tetapi mana dari ketiganya yang paling kita utamakan dalam kehidupan sehari-hari? Menurut kesaksian Alkitab urutannya haruslah begini. Prioritas pertama harus Tuhan. Carilah dahulu kerajaan Allah, dan kebenarannya, maka semuanya itu akan diberikan kepadamu.” (Mat 6:33). Cari Tuhan dulu, baru cari yang lain-lain. Jangan cari makan dulu, baru cari Tuhan, nanti dua-duanya tidak dapat. Kedua, harus keluarga. Prioritas kedua harus keluarga. Harus istri, suami dan anak-anak. Faktor ini yang perlu kita mantapkan dulu sesudah hubungan kita beres dengan Tuhan. Karir atau peker­jaan harus menjadi prioritas ketiga. Ini jangan dibalikkan menja­di nomor dua apalagi menjadi nomor satu. Betapa banyak suami-suami yang membalikkan nomor tiga menja­di nomor dua dan nomor dua menjadi nomor tiga. Mereka katakan: pokoknya duit beres diserahkan ke rumah, maka masalah keluarga sudah beres. Bagi suami, bukan uang atau pekerjaan atau pangkat atau karir duluan. Tetapi cintailah istrimu dan anak-anakmu, masalah uang akan menyusul. Inilah kunci kebahagian rumah tangga.
         


[1] Bahan PA (pembinaan) di HKBP New York, 08 Juli 2011.
[2] Visiting Scholar Columbia University;  Sekum PGI (2004-2009).

No comments:

Post a Comment