Thursday, June 16, 2011

Homiletika - Ilmu Berkhotbah


PEMBIMBING  KE  DALAM ILMU BERKHOTBAH[1]
Pdt. Dr. Richard Daulay, MTh, MA
                                                                       
PENDAHULUAN
Apakah khotbah? Dalam  Gereja-gereja Protestan kotbah mempunyai arti khusus, yaitu pemberitaan Firman Allah, ditujukan kepada semua orang juga kepada pengkotbah. Kotbah bukanlah semata-mata  “pidato” yang menguraikan ajaran agama. Dan bukan suatu uraian atau ajaran yang tidak bersangkut paut dengan manusia, melainkan di dalam kotbah itu Firman  Allah disampaikan secara  langsung  kepada  para pendengar sehingga mengalami pertemuan dengan Tuhan. Dengan demikian kotbah adalah sarana untuk mempertemukan manusia dengan Tuhan sehingga manusia dapat mengambil keputusan iman, percaya  dan menyerahkan diri kepada Allah. Paulus mengatakan, “Jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh Firman Kristus” (Roma 10:17)
            Dalam ibadah Gereja-gereja Protestan, kotbah mendapat tempat sentral. Lain dengan gereja Katolik, pusat ibadah adalah misa. Martin Luther berusaha sekuat tenaga agar hal pemberitaan Firman Tuhan dapat menjadi pusat ibadah gereja. Salah satu usaha Luther ialah menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa rakyat (Jerman) supaya pemberitaan Firman Allah dapat dilakukan dengan lancar oleh mereka yang terpanggil untuk tugas berkotbah.
            Yesus sendiri menempatkan kotbah pada tempat yang sangat sentral. Dalam permulaan Injil Markus, ia melaporkan pekerjaan Yesus dengan kata-kata sebagai berikut: Sesudah Yohannes ditangkap datanglah Yesus ke Galilea memberitakan Injil Allah  (Markus 1:14).    Selanjutnya Markus mencatat : Marilah kita pergi ke tempat yang lain, ke kota-kota yang berdekatan, supaya di sana juga Aku memberitakan Injil, karena untuk itu Aku telah datang. Lalu pergilah  Ia ke seluruh Galilea dan memberitakan Injil  dalam rumah-rumah ibadat mereka. (Markus 1: 38-39). Dalam akhir Injil Markus, ia juga mencatat pesan akhir Yesus kepada murid-muridNya, sebagai berikut: “Pergilah ke seluruh dunia beritakanlah Injil kepada segala makhluk.”  (Markus 16:15).  Paulus juga mencontoh pekerjaan Yesus ini.  Dalam missinya sebagai rasul, Paulus menempatkan tugas memberitakan Firman Allah ini sebagai tugas yang sangat pokok. Ia pergi dari kota ke kota dari desa ke desa, dan dari pulau ke pulau, dari negara ke negara  untuk memberitakan  Firman Allah.
            Karena kotbah-kotbah Martin Luther muncul pembaharuan Gereja (reformasi). Karena kotbah-kotbah John Wesley timbul gerakan Methodist di Inggris yang membawa perubahan radikal dalam kehidupan masyarakat Inggris. Billy Graham melalui kotbah-kotbahnya telah mempengaruhi umat Kristen di Amerika dan di seluruh dunia.   Tegasnya, manakala kotbah dianggap sebagai formalitas dalam ibadah gereja, maka di situ akan subur kesuaman iman. Di sana  ada kesuaman iman maka di situ setan merajalela. Karena itu Gereja harus senantiasa dibangunkan melalui pemberitaan Firman Allah.
          Dengan kata lain, kehidupan Gereja sangat tergantung pada khotbah. Kalau khotbah dalam Gereja sudah tidak memiliki “roh” maka Gereja itu sesungguhnya sudah “mati”. Gereja hanya bisa dihidupkan kembali melalui gerakan khotbah yaitu gerakan kebangunan rohani.
            Perlu dicatat, berkotbah atau memberitakan Injil Allah bukanlah hanya tugas  para Pendeta seperti sering disangka orang. Para reformator sangat menentang anggapan yang demikian.  Semua yang telah mengaku Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya adalah juga “iman” yang harus mempertanggungjawabkan   imannya itu melalui tugas pemberitaan Injil. Artinya siapa sajapun dapat berdiri di mimbar kotbah untuk memberitakan Injil Allah tanpa membedakan jabatannya dalam Gereja.
            Berkotbah atau memberitakan Firman Tuhan Yesus  tidak harus dalam gereja., seperti anggapan banyak orang.  Yesus sendiri selain berkotbah di rumah ibadat, Ia juga sering berkotbah di luar rumah ibadat. Yesus pernah memakai perahu sebagai mimbar kotbah. Pernah juga memakai gunung atau bukit sebagai mimbar untuk memberitakan Firman Allah. Karena pentingnya kotbah dan pemberitaan Firman Allah itu maka wajiblah setiap orang yang terpanggil untuk tugas itu dan senantiasa memperkembang dirinya sehingga ia dapat melaksanakan tugas itu dengan sebaik-baiknya. Sama seperti berpidato mempunyai ilmu dan cara  tersendiri, dalam menyampaikan “pesan” demikian juga berkotbah mempunyai ilmu dan cara berkotbah, yang sangat baik bila dipelajari dan dikembangkan.

I. PANGGILAN BAGI SEORANG PENGKOTABAH   
Jika kita  perhatikan di dalam Alkitab, di mana Allah memanggil orang-orang untuk menjadi pengkotbah, maka kita melihat lain  pula cara Allah memanggilnya. Hal ini harus dipahami agar dapat diketahui bagaimana cara Allah memanggil seseorang kepada tugas yang mulia itu.

Musa  
Waktu dipanggil profesi Musa adalah gembala domba. Bagi orang zaman Musa pekerjaan itu adalah  pekerjaan biasa. Sebenarnya Musa sudah  memiliki banyak keterampilan khusus melalui pendidikan yang dia jalani di istana Firaun sebagai anak angkat putri mahkota. Namun sesudah berkeluarga jadilah dia seorang gembala yang digaji mertua sendiri. Pekerjaan ini  dilakukan dengan setia.
                  Tetapi  di luar dugaannya dan tanpa pernah dia pikirkan sebelumnya, Tuhan Allah mengutus dia menjadi utusan untuk menyampaikan Firman Allah kepada bangsa yang terjajah itu termasuk kepada Firaun yang dikecewakannya itu melalui tindakan pelariannya. Tuhan berkata kepada Musa: Jadilah  sekarang, pergilah, Aku mengutus engkau kepada Firaun untuk membawa umatKu, orang Israel keluar dari Mesir. Demikian jugalah tugas setiap pengkotbah yaitu membawa umat Allah keluar dari perbudakan dosa.
          Hal  menarik untuk direnungkan ialah tanggapan Musa terhadap panggilan itu. Mula-mula Musa merasa lucu, sehingga Ia berkata, siapakah aku ini, maka aku akan menghadap Firaun dan membawa orang Israel ke luar dari Mesir. Terhadap  Firaun Musa sudah masuk  daftar masuk hitam. Karena sebagai anak angkat istana yang sudah menikmati segala sesuatu  kemewahan istana seharusnyalah Musa mengabdi kepada kepentingan istana.Karena secara diam-diam Musa telah membunuh seorang Mesir yang tengah memperbudak  bangsa Israel teman sebangsanya. Karena itu ia lari sebagai buronan polisi istana. Lalu Tuhan mengutus Musa justru menghadapi orang yang sedang memasang segala perangkap spionase untuk menangkap dia. Inilah yang tidak masuk akal Musa.  Jelasnya Musa menolak panggilan itu pada awalnya.
          Walaupun Allah telah meyakinkan Musa dengan suatu jaminan penyertaan,namun Musa masih sangsi. Kemudian Musa ingin tahu tentang namaNya, ternyata Musa masih  belum terpercaya. Dia mencari alasan lain.  “Bagaimana jika bangsa itu tidak percaya kepadaku dan tidak mendengarkan perkataanku.” (Keluaran 4:1) Untuk meneguhkan keyakinan Musa, Allah membuat beberapa tanda mujizat: Tongkat menjadi ular, tangannya kena penyakit kusta dan sembuh. Artinya, percaya tidaknya umat Israel itu kepada pemberitaan Musa, itu adalah urusan Allah. Bukan pengkotbah yang melahirkan iman percaya umat manusia,melainkan Allah. Yang penting kita mau dipakai oleh Allah, itu sudah cukup bagi Dia. Itulah yang diharapkan Allah dari Musa dan juga kita.            
       Memang tugas yang diberikan itu adalah tugas yang memerlukan kepandaian bicara. Makanya Musa  memakai dalih tidak pandai bicara dan berat lidah, namun Tuhan Allah tidak mau  undur dari keputusannya, lalu   Tuhan  berjanji: Oleh sebab itu, pergilah, Aku akan menyertai lidahmu dan mengajar engkau, apa yang harus kau katakana (Keluaran 4:12). Tuhan sudah menjamin proteksi terhadap kemungkinan ditangkap dan dibunuh Firaun. Tuhan sudah menjamin penyertaan untuk meyakinkan bangsa Israel tentang kehadiran Musa sebagai utusan Allah di tangan bangsa  itu.  Tuhan juga menjamin bahwa Firaun akan diyakinkan dengan berbagai mujizat yang dapat Musa lakukan. Sayang Musa belum juga mau menerima tugas itu.  Sekarang ia tegas menolak tanpa dalih: “Ah, Tuhan, utuslah kiranya siapa saja yang patut Kau utus (Keluaran 4: 13). Lagi-lagi Tuhan tidak mau memaklumi sejuta alasan yang dibuat-buat oleh Musa.  Dengan marah Tuhan berkata: bukanlah di situ Harun, orang Lewi itu, kakamu?  Aku tahu, bahwa ia pandai bicara...”. (Keluaran 4: 14)
          Akhirnya Musa menerima tugas itu “Lalu pergilah Musa beserta Harun dan mereka mengumpulkan semua tua-tua Israel (Keluaran 4: 29) Ini yang penting, bahwa akhirnya Musa menyerahkan dirinya kepada panggilan Tuhan, walau sesudah berliku-liku prosesnya.

Yesaya      
Yesaya adalah orang istana. Dia adalah sahabat para penghuni istana termasuk Raja-rajanya. Dalam Yesaya 6:1 kita dapat membaca cerita panggilannya.  Dalam tahun matinya raja Uzia akan melihat Tuhan duduk di atas takhta yang tinggi dan menjulang, dan ujung Jubahnya memenuhi Bait Suci. Para Serafim berdiri di sebelah atasNya masing-masing mempunyai enam sayap; dua sayap dipakai untuk menutupi muka mereka, dua sayap  dipakai   untuk menutupi  kaki mereka   dan dua sayap dipakai  untuk melayang-layang. Dan mereka berseru seorang kepada seorang, katanya: Kudus, kudus, kudus, kuduslah Tuhan semesta alam seluruh bumi penuh kemuliaanNya. Pengalaman melihat Allah melalui visi ini menyadarkan Yesaya akan keberadaannya. Dia merasa tidak mampu mengalami peristiwa itu. Dia  merasa tidak sanggup untuk menghadapi Tuhan Allah yang menyatakan diri kepadanya serta mau memanggil.  Tidak mungkin Tuhan mau  menyatakan diri kepada orang  seperti dia.  Itulah pikirannya.  Oleh karena itu dia menjerit-jerit karena  penampakkan diri Allah yang berarti panggilan itu.  Yesaya berkata: “Celakalah aku!  Aku binasa sebab aku ini seorang yang najis bibir, dan aku tinggal di tengah-tengah bangsa yang najis bibir.”  (Yesaya 6: 4)
          Yesaya  seakan-akan mau bersembunyi dari hadirat  Tuhan untuk mengelakkan panggilannya itu.  Tetapi sekali Tuhan memilih, pilihannya tidak akan meleset. Lalu malaikat itu menjamin kesangsian Yesaya akan ketidaklayakkannya  karena dosa-dosanya: “Lihat, ini telah menyentuh bibirmu, maka kesalahanmu telah dihapus dan dosamu telah diampuni. (Yesaya 6: 7) Setelah Yesaya mengaku dengan tuntas segala dosa-dosanya dihadapan Tuhan, maka Tuhan sendiri telah menyucikan dia dari segala ikatan  dosa tersebut. Sehingga ketika terdengar oleh Yesaya suara Tuhan berseru: Siapakah yang akan kuutus dan siapakah yang mau  pergi untuk Aku.” (Yesaya 6: 6)  Yesaya menyambut dengan tegas dan pasti: Ini aku, utuslah aku.” (Yesaya 6: 8)
          Suatu kepasrahan yang seratus persen dari Yesaya terhadap panggilan Tuhan.  Sekalipun Yesaya belum mengetahui segala kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi karena tugasnya yang baru itu namun dengan iman dia sudah siap.  Bukankah sering orang berdalih seperti Yesaya tadi, bahwa dia adalah orang najis dan tidak pantas?  Tetapi bagi Tuhan itu tidak soal.  Yang penting siapa yang mau mengaku dosa-dosanya secara tuntas di hadapan Tuhan, Tuhan sendirilah yang mengampuni dosanya dan dengan demikian siap untuk dipakai sebagai pemberita firmanNya. Tegasnya untuk menjadi pengkotbah atau memberitakan Firman Tuhan, dosa harus “dibereskan” lebih dahulu hubungannya dengan Tuhan. Tidak mungkin seorang yang hidup di dalam dosa dapat memberitakan Firman Tuhan yang berisikan pengampunan dosa.  Inilah penghiburan bagi setiap orang yang merindukan keampunan dosa, sebelum orang itu sendiri sudah mengalami pengampunan dosa:  “Sekalipun dosamu merah seperti kermizi, akan menjadi putih seperti salju; sekalipun berwarna merah kain kesumba, akan menjadi putih seperti bulu domba”  (Yesaya 1: 18).
          Yesus Kristus yang telah tersalib    untuk dosa manusia adalah jaminan bagi siapa saja yang mau mengakui segala dosa-dosanya. Sekali kita datang mengaku di hadiratnya, pasti dia akan menyambut kita dan berkata: Hari ini engkau bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus.

Yeremia
Berbeda dengan Musa danYesaya, Tuhan memanggil Yeremia pada usia yang sangat muda.  Ada orang mengatakan bahwa pada waktu Yeremia dipanggil, umur baru delapan tahun. Dalam Yeremia Pasal 1, kita dapat membaca cerita panggilannya.  Yeremia menceritakan kisah panggilan itu sebagai berikut: “Firman Tuhan datang kepadaku, bunyinya: Sebelum akau membentuk engkau dalam rahim ibu, aku telah mengenal engkau, Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa.  “suatu kata-kata yang tidak masuk akal manusia”.  Itulah isi panggilan Yeremia.
          Ini berarti, walaupun sedemikian dalamnya kalimat panggilan Allah itu, Yeremia tidak langsung menyambut dengan “Ya”.  Akan tetapi dia juga sebagai manusia biasa merasa tidak layak menjadi nabi bagi bangsa-bangsa. Karena itu Yeremia mencoba berdalih: “Ah, Tuhan Allah, sesungguhnya aku tidak pandai berbicara,  sebab aku ini masih muda.”  Tetapi Tuhan memberi jaminan penyertaan kepada Yeremia katanya:  Jangan katakan aku ini masih muda, tetapi kepada siapapun  engkau Kuutus haruslah kau sampaikan. Janganlah takut kepada mereka, sebab Aku menyertai  engkau   untuk melepaskan  engkau..”
          Panggilan Tuhan pantang  ditolak. Yeremiapun pergi menunaikan tugas yang berat itu, yaitu memberitakan Firman Allah yang sangat pedas kepada bangsa-bangsa. Yeremia merasa tidak rendah diri sekalipun dia sangat muda.  Inilah yang menarik untuk kita simak. Betapa sering warga Gereja kita menolak untuk menjadi pengkotbah dengan alasan masih terlalu muda.  Bagi Allah dan kerajaan Allah tidak berlaku faktor usia tua atau muda seperti sering terjadi dalam masyarakat maupun Gereja. Ingat saja ceritera  Tuhan Yesus tentang orang yang bekerja di kebun Anggur. Ada yang masuk pukul enam pagi, ada yang masuk  pukul duabelas  siang dan ada  pula yang masuk pukul tiga petang bahkan ada sampai pukul  lima sore. Semua mereka mendapat upah  yang serupa yakni: satu dinar.
          Demikian juga dalam kerajaan Allah. Baik dia orang tua maupun muda. Baik dia orang yang sudah  lama  jadi Kristen atau yang baru dibaptis. Baik dia orang yang sudah lama berkotbah maupun yang baru dibaptis. Baik dia orang yang sudah lama berkotbah maupun yang baru akan ditugaskan itu.  Bagi Tuhan semua diperlakukan sama yaitu:mendapat upah besar di bumi dan di sorga. (Lukas 19: 28-30). Dari ketiga contoh di atas dapat dilihat bagaimana Allah memanggil orang-orang yang dipakainya menjadi pengkotbahNya. Tidak ada yang   sama, tetapi walaupun caranya berbeda, tujuannya tetap satu yakni untuk  menjadi utusan Allah menyampaikan FirmanNya.
          Satu hal yang perlu  dicatat menjadi pengkotbah itu sesungguhnya  bukanlah karena manusia itu sendiri melainkan Allah. Bukan kepentingan manusia tetapi kepentingan Allah. Allah sendirilah  yang  memanggil. Bukan atas usaha dan cita-cita manusia. Ini yang harus disadari setiap calon pengkotbah, di mana tugas itu bukanlah karena dia cari tetapi semata-mata karena Allah sendirilah yang telah memanggilnya untuk pekerjaaan itu.  Allah sendirilah yang telah memanggilnya untuk pekerjaan itu.  Allah sendirilah yang memanggil, Allah jugalah yang menyanggupkan dan Allah sendirilah yang menjamin akan menyertainya.
          Musa, Yesaya dan  Yeremia sama-sama merasa dirinya tidak sanggup dan tidak layak. Alasan berbeda-beda. Musa merasa tidak layak karena takut pada Firman yang mendurhakainya dan merasa  tidak pandai berkata-kata. Tetapi Tuhan sendiri berjanji akan menyanggupkan dan menyertai dia.  Tidak ada alasan menolak panggilan Allah karena tidak pandai sebab bukan kepandaian yang diutamakan melainkan penyerahan diri. Tidak ada alasan karena  terlalu muda seperti Yeremia. Bukan karena mudanya atau karena tuanya seseorang itu taat kepada panggilan Allah. Sedangkan Allah tidak pernah menganggap faktor usia menjadi syarat untuk panggilanNya, tetapi yang perlu ketaatan.  Juga  tidak ada alasan karena orang berdosa. Karena siapakah gerangan manusia yang tidak berdosa.  Baik Musa, Yesaya dan Yeremia dan semua orang yang  pernah oleh Tuhan adalah juga orang berdosa. Karena itu alasan    Yesaya menolak panggilan Allah karena dia orang berdosa tidak  dibenarkan Allah. Bukan karena kesanggupan manusia atau kesuciannya maka seseorang layak bagi Allah. Tetapi Allah  sendirilah yang melayakkan setiap orang dengan anugerah pengampunan dosa yang dijanjikan Allah bagi setiap orang yang menerima panggilannya.
          Dengan merenungkan ketiga contoh panggilan Allah di atas tentu sudah dapat dipahami bagaimana Allah memanggil kita sendiri menjadi alat di tangan Dia untuk menjadi pengkotbahNya.  Sebab tidak seorangpun sampai kepada tugasnya  yang mulia itu kecuali karena dipanggil. Sebab Yesus sendiri mengatakan, siapa yang ke kandang domba dengan tidak melalui pintu, tetapi dengan memanjat tembok, ia adalah seorang pencuri dan perampok. (Yohanes 10:1). Kandang domba yang dimaksud ialah medan pelayanan para pengkotbah menyampaikan Firman Allah kepada para domba-domba Allah. Sedangkan pintu yang dimaksud ialah panggilan Allah itu sendiri.
          Oleh karena itu yang pertama dan utama bagi siapa saja yang terpanggil untuk menjadi pengkotbah ialah menyadari dengan sunguh-sungguh bahwa hanya karena panggilan Allah semata ia masuk  ke dalam tugas itu.  Kesadaran akan panggilan itu akan melahirkan keberanian iman serta penyerahan diri yang total kepada Allah si Pemanggil itu. Sebaliknya orang yang tidak pernah menyadari bahwa menjadi pengkotbah itu adalah panggilan Allah semata-mata, maka ia akan cenderung  menjadi perampok dan pencuri. Sejarah mencatat bahwa sepanjang zaman akan tampil nabi-nabi palsu. Mereka masuk ke kandang domba berbicara tentang Allah, tetapi mereka penuh dengan niat yang jahat. Mereka mau merampok domba-domba itu.  Mereka mau mencuri kemuliaan Allah karena bagi mereka itulah yang penting. Itulah gembala yang jahat yang digambarkan dalam Yehezkiel 34.  Tetapi gembala yang baik ialah orang yang rela mengorbankan nyawaNya sendiri untuk keselamatan manusia.  Dan Dia mengutus setiap orang utusanNya dengan pesan; “Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu” (Yoh. 17:18; 20:21).
          Gembala yang baik sadar akan tugas panggilannya. Ia siuman bahwa Allah adalah segala-galanya. Dia tidak sangsi karena ketidakpintarannya berkata-kata, tetapi senantiasa memohon inspirasi Roh Kudus untuk mengatasinya,. Tidak gentar karena resiko yang besar, karena kekurangan makanan, karena dia percaya bahwa Allah sendirilah yang empunya langit dan bumi serta dapat mencukupkannya. Semua pengkotbah harus senantiasa menggumuli panggilannya agar dia dapat mengerjakan panggilan itu sesuai dengan kehendak Tuhan. Karena siapapun bisa jatuh, bisa lemah, bisa putus asa,  bisa terpukul dan terhempas. Tetapi yang penting kita jangan ke luar dari panggilan itu.  Kita bisa knock down asalkan jangan knock out.
          Jelaslah, bahwa tidak seorangpun pengkotbah yang secara gampang menerima tugas panggilan itu.  Selalu diawali suatu pergumulan yang berat.  Itulah tanda  dan syarat mutlak bagi seorang yang terpanggil untuk menjadi pengkotbah. Mengaku dan merasa bahwa isinya tidak mampu dan tidak layak untuk tugas seberat itu.  Hanya Tuhan sendirilah telah berjanji akan menyertai, akan menaruh firmanNya ke dalam mulut kita.  Barang siapa yang merasa sanggup dan mampu serta layak menjadi pengkotbah dari dirinya sendiri, berdasarkan kebolehannya sendiri, perlu kita sangsikan dan pertanyakan.  Dia bukanlah   pengkotbah yang dipanggil  oleh Allah tetapi memanjat tembok, yang pada gilirannya akan menjadi pencuri dan perampok.

II. MEMPERSIAPKAN KOTBAH  
      Cara atau metode bukanlah tujuan.  Itu hanyalah alat  untuk mencapai tujuan.  Tujuan kita adalah menyampaikan Firman Allah.  Berkotbah juga mempunyai metode.  Dan metode sifatnya relatif.  Karena lain  waktu, tempat dan kondisi,maka lain pulalah metode yang harus dipakai untuk menyampaikan Firman itu, agar hasilnya dapat lebih baik. Ada dua tahap utama untuk mempersiapkan kotbah. Pertama, tahap  exegese   (ekplikasi) yaitu menggali, mengolah dan mendalami   nats (perikop) yang menjadi dasar kotbah. Kedua, tahap meditasi (aplikasi) yaitu merenungkan, mendarah dagingkan dan menghayati kotbah itu.  Kedua  tahap ini harus kita jalani agar kotbah kita dapat berhasil, mencapai tujuan.  Marilah kita uraikan satu persatu. 

EXEGESE atau EKSPLIKASI
Exegese artinya membawa keluar.  Yang dibawa keluar adalah isi dari perikop itu.  Alkitab itu ibarat gunung  di tas permukaan laut. Yang kit abaca dalam Alkitab itu baru sebagian dari isi Alkitab itu. Setiap perikop itu akan tetap tertutup tidak dapat diambil isinya.  Tetapi melalui exegese kita dapat  menggali dan mengeluarkan isi dari perikop itu.  Langkah untuk exegese ialah sebagai berikut:
a.  Membaca nats kotbah (perikop)   
Membaca nats kotbah (perikop) dengan teliti, tidak cukup hanya satu kali.  Tetapi harus berulang-ulang dibaca sehingga dapat mengingat bahkan menceritakannya kembali.  Usahakan membaca Alkitab dalam dua bahasa atau lebih, misal Alkitab bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Lebih baik kalau dapat memakai bahasa aslinya (Yunani untuk PB dan Ibrani untuk PL). Dengan membaca berulang-ulang sambil memohon bimbingan Roh Kudus untuk menolong kita memahami Firman itu berarti kita sudah mulai penggalian pertama.  Sudah terasa apakah tanahnya keras atau lembek atau berbatu-batu. Artinya, bahwa kadang-kadang hanya dengan membaca saja kita masih belum mampu mengerti isi perikop itu, berarti perikop itu keras dan harus membutuhkan penggalian yang keras pula dengan memakai banyak alat-alat. Adapun alat-alat menggali yang dimaksud antara lain: tafsiran, terjemahan lain, kamus, ayat-ayat paralel dan lain-lain.  Semua ini bisa dipakai sebagai alat exegese.  Bacalah sehingga anda sendiri mengerti kata demi kata, kalimat demi kalimat.  Pakailah alat-alat tadi sehingga segala sesuatu yang masih kabur dapat jelas.  Jika perlu mintalah bantuan orang lain yang mungkin  lebih dalam pengetahuan theologinya.  Kalau tidak, diskusikan dengan teman-teman lain.

b.   Menyelediki latar belakang nats  
Untuk menyelidiki latar belakang nats kita dapat membuat pertanyaan-pertanyaan: siapa, apa, mengapa, di mana, kapan.  Siapa mengatakan dan meuliskan nats itu. Apa isinya dan tulisan/dituliskan, dan kepada siapa ditujukan.  Untuk ini kita perlu mempelajari situasi kehidupan masyarakat pada waktu nats itu ditulis/dikatakan. Jadi perlulah kita mempelajari sejarah Yahudi, sejarah Romawi  yaitu tempat Alkitab itu dituliskan.  Di sini peranan buku-buku pembimbing amat penting yang memuat uraian situasi masyarakat baik politik, ekonomi, sosial pada waktu itu.
          Dengan mengetahui latar belakang setiap nats, atau  perikop itu,maka terbukalah jalan untuk memasuki tafsiran. Dapat dikatakan, bahwa sudah mendalam.  Mungkin sedikit kita sudah dapat melihat air kehidupan yaitu Firman Allah yang terdapat di dalamnya.

c.   Menafsirkan ayat demi ayat 
Sekarang kita memasuki tugas yang lebih berat tetapi asyik. Menafsirkan artinya,menjabarkan dan mengembangkan setiap perkataan dalam perikop  itu, sehingga artinya menjadi terang benderang bagi kita.  Untuk ini perlu memakai buku-buku tafsiran sebagai pembimbing di dalam bertafsir.  Karena akhirnya kita sendirilah yang menafsirkan ayat-ayat itu sesuai dengan kemampuan kita.  Dengan menafsirkan ayat-ayat itu sesudah dapat melihat air hidup yang kita gali melalui langkah-langkah di atas.  Melalui langkah tafsiran terasa air itu semakin banyak. Sama seperti menggali sumur, semakin dalam kita gali semakin banyak pula air memancar.

d.   Mencari tema kotbah
Apakah tujuan nats kotbah itu.  Inilah yang dinamakan tema Kotbah. Kita harus menemukannya. Tema ialah intisari dari berita yang terkandung di dalam perikop yang telah kita gali melalui langkah-langkah tadi.  Inilah yang saya namakan peluru kotbah, jika kotbah itu dianggap  sebagai perang rohani melawan si iblis.  Maka kalau peluru tidak kita miliki, bagaimana kita bias berperang melalui kotbah. Dan setelah kita menemukan tema itu, kita akan segera melangkah kepada tahapan kedua dari persiapan kotbah yakni meditasi.

MEDITASI (APLIKASI) 
Meditasi tahapan yang lebih terkonsentrasi. Meditasi artinya renungan, diam memikirkan sesuatu dalam-dalam. Tema ataupun skopus yang sudah dapat tadi, kemudian dimeditasi, direnungkan dalam-dalam.  Biasanya orang bermeditasi,menyendiri dan merenung sambil berdoa agar Roh Allah bekerja untuk mengucapkan apa yang mau diucapkan dalam kotbah.  Dengan kata lain kita membiarkan Tuhan menaruh FirmanNya ke dalam mulut kita seperti dikatakan Tuhan langsung berkata-kata kepada klita tentang perikop  yang  akan dikotbahkannya itu.
         Harus diingat, yang kita kotbahkan bukanlah EXEGESE.  Berkotbah bukan bertafsir.  Langkah-langkah meditasi sebagai berikut:
          Pertama, Semua hasil EXEGESE tadi kita renungkan terus menerus.  Kita harus menjalankan diri dari segala kesibukan dan keributan agar kita dapat terkonsentrasi dalam doa dan meditasi.  Mungkin di dalam kamar yang tertutup. Mungkin di dalam kantor  Bisa juga duduk-duduk di bawah pohon yang rindang atau di mana kita dapat memikirkan hal itu  dalam-dalam sambil merenung dalam doa.
          Kedua, dengarkanlah suara Tuhan yang berkata-kata melalui bahasa sorgawi.   Ia  akan membisikkan ke telinga hati kita segala rahasia dari FirmanNya itu.  Dia akan mengajar kita tentang FirmanNya itu.  Di sini kita akan merasakan pancaran air kehidupan yang memancar dari FirmanNya melalui meditasi.  Dia akan membimbing kita untuk mengaplikasikan nats itu kepada situasi manusia kini dan di sini.
          Ketiga, menuliskan dalam kertas (buku) segala inspirasi-inspirasi yang muncul pada saat meditasi itu.  Inspirasi-inspirasi  itu akan muncul tiba-tiba atau mungkin sesudah lama kita merenung.  Dan itu semua harus dicatat.  Pokoknya segala sesuatu inspirasi yang muncul sebagai hasil inkubasi kita terhadap exegese tadi akan kita catat, dan kita akan menemukan sejumlah besar inspirasi-inspirasi Sorgawi tercatat dalam buku kita.  Semuanya itu merupakan bahan buku untuk kemudian kita susun melalui suatu penulisan kotbah yang tersusun dan sistematis.
          Kelima, setelah ada sejumlah besar pikiran-pikiran atau ide-ide yang berhubungan dengan perikop (nats kotbah) maka kita akan menyusun sedemikian rupa dalam buku catatan kotbah sehingga terciptalah sebuah kotbah yang siap untuk dikotbahkan.  Ingatlah prinsip berkhotbah ini: bahwa khotbah yang ditulis dalam buku, berarti Allah sudah menuliskan kotbah itu dalam hati kita. Karena khotbah itu pertama-tama ditujukan bukanlah kepada orang lain tetapi diri si pengkotbah sendiri.
          Keenam, sesudah kotbah ditulis dalam buku khusus yang merupakan kumpulan kotbah-kotbah, maka kita kembali membacanya berulang-ulang.  Bukan untuk dihafal tetapi memperdalam proses meditasi.  Sebab dan harus diingat, dalam mimbar tidak boleh membawa buku kotbah untuk dibacakan.  Seperti membacakan pidato atau ceramah.  Itu bukan kotbah.
          Ketujuh, membuat out-line (garis besar)  kotbah.  Catat kata-kata kunci kotbah itu dalam satu catatan kecil.  Dan  garis besar itulah yang dibawa ke atas mimbar sebagai penolong agar dapat berkotbah dengan sistematis tanpa berulang-ulang. Ingat prinsip berkhotbah yang penting ini: Persiapkanlah khotbahmu seolah-olah tidak ada Roh Kudus sehingga anda harus bergantung kepada persiapan itu;  Tetapi khotbahkanlah khotbahmu seolah-olah tidak ada persiapan kecuali hanya mengandalkan kuasa Roh Kudus.
Demikianlah langkah-langkah proses meditasi dalam mempersiapkan kotbah.  Meditasi lebih penting dari exegese.  Exegese yang  mendalam dengan meditasi yang dangkal akan menghasilkan kotbah yang dangkal.  Tetapi meditasi mendalam dengan exegese yang mendalam menghasilkan kotbah yang mendalam juga. Sebagai Pendeta, saya sudah bersiap pada hari Senin untuk berkotbah pada hari Minggunya. Ingatlah sama seperti menggali sumur, semakin dalam digali semakin banyak  air yang memancar.  Demikian menggali kotbah melalui proses Exegese dan Meditasi, semakin dalam digali semakin banyak  air kehidupan (Firman Tuhan) memancar ke dalam hati kita. Karena itu galilah sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya. Hubungan dengan dogmatika Kristen, Etika Kristen, atau Sejarah Gereja.  Carilah ilustrasi yang dapat dipakai antara lain cerita-cerita zaman dahulu, riwayat hidup orang terkenal, ungkapan peribahasa dan apa saja yang cocok.
           
III. MENYAMPAIKAN KHOTBAH
Kemudian mengkotbahkan kotbah yang sudah dipersiapkan. Untuk ini digunakan ilmu atau berbicara di depan  umum sebagai pembantu. Tetapi yang pertama harus dikatakan, bahwa Roh Kudus juga dapat mengajarkan dan mengembangkan kemampuan kita untuk berkotbah melalui mimbar kotbah.  Beberapa petunjuk mengucapkan kotbah.

a.  Komunikatif (Ciptakanlah suasana akrab)
Pengkotbah harus mampu memandang sebagai satu kesatuan. Peranan sorotan mata, amat penting. Tidak boleh memandang ke bawah seakan-akan membaca atau memandang ke atas karena tidak tahan menghadapi pendengar, baik yang duduk di sebelah muka, belakang, samping kiri, kanan, agar mereka semua  juga merasa dekat dengan kita.

b. Bahasa  khotbah
Bahasa dalam khotbah haruslah bahasa yang dimengerti oleh pendengar. Bahasa ibu adalah sarana khotbah yang paling mantap. Kalau terpaksa menggunakan bahasa asing jelskan artinya.  Kalimat-kalimat pendek tajam jauh lebih efektif dibanding kalimat panjang berbelit-belit. Kalau bisa, pergunakanlah bahasa-bahasa ilustratif yang dapat meninggalkan bekas bagi para pendengar. Yesus juga sering menggunakan cara itu.  Umpamanya Dia berkata:  “Dia adalah pokok anggur dan kita adalah carang-carangNya”  

c. Bahasa tubuh
Waktu berkotbah, bukan hanya suara yang memegang peranan.  Tetapi wajah juga turut. Demikian juga gerakan tangan/cukup menolong untuk menekankan sesuatu melalui kotbah.  Tetapi kesemuanya itu harus terkendali. Jangan karena menggunakan gerak, akhirnya kita seperti menari-nari dalam mimbar.  Dan jangan pula badan kita kaku seperti patung.       

d. Intonasi suara     
Kita harus menghindarkan suara yang monotone.  Yang membuat pendengar dan ngantuk.  Tinggi rendahnya suara, cepat lambatnya bahasa harus dikuasai.  Kadang-kadang pengkotbah boleh seperti membentak, dan kadang-kadang dapat seperti berbisik. Semua itu akan menciptakan suasana asyik dan serius mendengarkan. 

e. Pakaian        
Ingatlah, selama setengah jam atau kurang lebih semua pandangan  pendengar tertuju kepada pengkotbah.  Sudah pasti pandangan mereka bukan saja tertuju ke wajah, tetapi juga kepada pakaian.  Oleh sebab itu, pakailah yang rapi, sederhana tanpa  berlebih-lebihan.  Artinya, pakaian juga sudah disalibkan seperti hati dan pikiran kita. Hingga semua penampilan kita akan menjadi pujian bagi Allah semata.
          Itulah  petunjuk-petunjuk yang menolong setiap pengkotbah untuk berkotbah melalui  mimbar. Kesemua ini pasti belum lengkap.  Tetapi ingatlah bahwa petunjuk yang mutlak tidak ada. Kita harus pandai menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi di mana kita berkotbah, sehingga kita  tidak akan menjadi batu sandungan bagi sesama kita. 
Berdoa dan bersyukurlah  kepada Allah sebelum dan sesudah berkotbah, karena semuanya itu dapat kita lakukan, bukanlah karena kebolehan kita, tetapi atas anugerah pertolonganNya semata-mata.  Terakhir perlu dinasehatkan, godaan yang paling sering kepada pengkotbah ialah pujian.  Pengkotbah yang baik sering kepada pengkotbah ialah pujian. Pengkotbah yang baik sering mendapat pujian dari pendengar, baik langsung atau tidak langsung. Memang senang rasanya dipuji.  Tetapi sadarilah, bahwa sekali kita menerima pujian itu, kita sudah merampok milik Allah si alamat pujian itu.  Hanya Allah sendirilah yang patut dipuji.

IV. HIDUP SEORANG PENGKOTBAH
Seperti sudah dikatakan, setiap pengkotbah haruslah sadar bahwa alamat pertama dari kotbahnya adalah dirinya sendiri. Dialah yang pertama menerima Firman Allah itu, kemudian si pengkotbah Allah menyampaikannya kepada orang lain. Karena  itu yang pertama mengamalkan isi kotbahnya adalah seorang pengkotbah itu sendiri.  Kalau tidak demikian, kotbahnya  ibarat nasihat-nasihat kering yang sekejab akan lenyap dari hati pendengar.  Paulus sungguh-sungguh menyadari hal itu,maka dia bergumul:  Tetapi kau melatuh tubuhku dan menguasainya seluruhnya, supaya sesudah memberitakan  Injil kepada orang lain, jangan aku sendiri ditolak.”  ( I Korintus 9:27)   Dari Paulus dan pengkotbah-pengkotbah terkenal, kita memperoleh tuntunan hidup, bagaimana pengkotbah itu hidup sehari-hari di dunia ini.

1. Hidup dalam doa
      Pengkotbah harus hidup dalam doa.  Hidup dalam doa ialah hidup hidup dalampenyerahan diri yang terus menerus secara  total kepada Allah.  Dengan kotbah kita mau memberitakan kebenaran Allah kepada orang lain.  Lalu bagaimana mungkin kita memberitakan kebenaran itu kepada orang lain tanpa penyerahan diri kepada sang kebenaran itu.  Paulus menasihatkan:  Berdoalah setiap waktu di dalam Roh dan berjaga-jagalah di dalam doamu itu dengan permohonan yang tak putus-putusnya untuk segala orang kudus, juga untuk aku, supaya kepadaku jika aku membuka mulutku, dikaruniakan perkataan yang benar, agar dengan keberanian aku memberitakan rahasia Injil, yang kulayani sebagai utusan uyang dipenjarakan.  Berdoalah supaya dengan keberanian aku menyatakannya, sebagaimana seharusnya aku berbicara” (Efesus 6:18-20). Paulus menganjurkan agar jemaat Efesus itu berdoa terus bukan saja untuk kepentingan mereka sendiri, tetapi juga untuk pemberitaan rahasia injil itu.
                Ingatlah nasihat-nasihat mereka yang terkenal dalam pelayanan Firman Allah. Charles Spurgeon (Pendeta Gereja Baptis Inggris) mengatakan: “Seharusnya seorang pendeta dan pengkotbah lebih dari dari semua orang lain, dikenal sebagai seorang  yang berdoa.”  Sifat doa kita akan menentukan sifat kotbah kita. Dia berkata lagi, “Doa yang lemah akan menghasilkan kotbah yang lemah, Doa yang sungguh-sungguh akan menghasilkan kotbah yangberkuasa.” Seorang pengkotbah haruslah menjadi seorang yang istimewa dalam doa. Kotbah  yang tidak lahir dari doa ialah kotbah yang mematikan. Tetapi kotbah yang lahir dari doa adalah  kotbah yang membawa kehidupan.
          Martin Luther menganggap doa itu sebagai “nafas”.  Nafas adalah unsur yang menghidupkan. Demikian juga doa adalah tenaga hidup bagaikan api yang menyala mestinya mesin uap sehingga timbul tenaga gerak. Luther pernah berkata: “aku akan sangat sibuk hari ini, jadi aku harus memulainya dengan berdoa selama tiga jam.”  Jelas, bagi   dia doa adalah prioritas utama dalam hidup. Semakin banyak pekerjaannya dan waktu yang dibutuhkan untuk mengerjakannya, semakin banyak waktu untuk berdoa yang dibutuhkannya.
          Sampai sekarang saya selalu bergumul dalam doa, bagaimana agar saya menjadi orang yang tahu berdoa. Seperti murid-murid yang meminta diajar berdoa, demikian juga setiap pengkotbah harus bergumul dalam sekolah doa. Berdoa tidak segampang mengucapkannya. Sebab ada doa yang benar dan ada pula yang salah.   Yakobus berkata. “Kamu  tidak memperoleh apa-apa  karena kamu tidak berdoa. Atau kamu berdoa juga, tetapi kami tidak menerima apa-apa karena kamu salah berdoa.” (Yakobus 4:3-4).
          Ternyata ada doa yang salah. Dan doa yang salah itu apabila kita meminta sesuatu untuk memuaskan hawa nafsu, demi kepentingan diri sendiri. Sedangkan doa yang berjawab ialah doa yang dipanjatkan dalam nama Yesus  disertai iman percaya kepada janji-janji Allah dalam FirmanNya serta keyakinan bahwa Allah sanggup melaksanakan sesuai dengan  janjiNya.  Pendeknya tidak seorangpun yang pernah tamat berdoa dan menganggap doa itu suatu perkara yang enteng. Kita harsu senantiasa berdoa seperti murid-murid Yesus: Ajarlah kami berdoa.

2.  Pergaulan Luas  
      Pengkotbah harus bisa menyesuaikan diri kepada semua lapisan manusia. Seorang pengkotbah harus menganggap  semua manusia sama-sama berdosa di hadirat Allah dan membutuhkan keampunan dosa.  Paulus mengatakan: “Demikianlah bagi orang Yahudi aku menjadi seperti orang Yahudi, supaya aku memenangkan orang-orang Yahudi…”  (I Korintus 9:20-22).  Seorang pengkotbah harus mempunyai solidaritas yang tinggi.  Dia tidak merasa tinggi hati menghadapi orang yang lemah dan hina-dina.  Dan tidak merasa minder di hadapan orang-orang terhormat dan orang-orang besar. Dan sikap yang seperti ini bisa lahir dalam hidup pengkotbah bilamana ia senantiasa dekat kepada Allah. Harus  diingat bahwa Firman Allah ini ditujukan selain kepada diri pengkotbah sendiri juga kepada semua orang tanpa kecuali. Baik dia kaya atau miskin, berpendidikan atau tidak, pejabat atau rakyat biasa, merekalah alamat Firmat Tuhan.

3.   Rajin membaca   
Pengkotbah harus rajin membaca.  Membaca berarti belajar.  Belajar tidak harus melalui jenjang pendidikan formal.  Membaca adalah cara untuk meningkatkan pengetahuan. Paulus adalah seorang yang rajin membaca. Kita dapat melihat dalam II Timotius 4:13 Paulus merindukan buku-buku bacaannya . Dia pesankan kepada teman sekerjanya Timotius: “jika engkau kemari bawa juga  jubah yang kau tinggalkan di Troas di rumah Karpus dan juga kitab-kitabku, terutama perkemen itu.”    John Wesley Bapak Gereja Metodist Indonesia sebelum mengangkat para pengkotbah awam untuk membantu pekerjaannya terlebih dahulu menanyakan kepada mereka apakah setiap hari empat jam untuk membaca.  Kalau mereka tidak bersedia, John Wesley menyuruh mereka kembali kepada pekerjaan semula  karena  tidak patut diangkat menjadi seorang pengkotbah.
         Tuntunan hidup seperti   di atas tentu bukanlah sesuatu gampang dikerjakan. Harus melalui suatu latihan yang  terus menerus. Dengan demikian berdoa, bermasyarakat dan membaca akan menjadi bagian dari hidup kita. 
          Ingatlah bahwa sebagai pengkotbah kita juga dituntut untuk hidup sesuai dengan kotbah kita. Kalau tidak, kita munafik orang yang hanya tahu mengatakan tetapi tidak tahu mengerjakannya. Seorang pengkotbah harus menjadi pola panutan dalam semua hal. Karena itu seantero hidup kita mestilah menjadi kotbah. Sebab berkotbah tidak saja melalui mimbar kotbah.  Segala tindak tanduk kita sehari-hari adalah juga kotbah. Sehingga orang tidak saja senang mendengarkan kotbah kita, tetapi juga senang menyaksikan bagaimana kita hidup dan mereka dapat mencontohnya.

V. PENUTUP
Catatan-catatan di atas adalah garis-garis besar ilmu homiletika (ilmu berkhotbah) yang diharapkan dapat membantu para pengkhotbah (termasuk pengkhotbah awam) dalam melaksanakan tugas yang mulia ini yaitu memberitakan Injil  kabar baik itu. Yang saya uraikan ini adalah terutama berdasarkan pengalaman saya sebagai pengkhotbah yang sudah dipakai Tuhaan selama kurang lebih 37 tahun semenjak saya mahasiswa  tingkat kedua di sekolah pendeta dulu.
          Seorang pengkhotbah yang baik tidak pernah merasa sudah lulus ilmu berkhotbah, tetapi ia terus mengembangkan pengetahuannya mengenai khotbah dan bekhotbah.


[1]  Disampaikan pada pembinaan para Penatua HKBP New York, tanggal 16 Juni 2011.

Wednesday, June 8, 2011

KEPEMIMPINAN KRISTEN
Bahan Pemahaman Alkitab di HKBP New York
Jumat,10 Juni 2011
Oleh: Pdt. Dr. Richard Daulay

“Bila tidak ada wahyu, menjadi liarlah rakyat” - If there is no vision, people perish (Amsal 29: 18)


Bacaan: Yohanes 10: 1-22.

Dalam Alkitab Perjanjian Lama  dan Perjanjian  Baru   akan ditemukan begitu banyak pemimpin-pemimpin yang muncul  dalam konteksnya masing-masing dengan visi dan misi yang  berbeda-beda. Musa, Yosua, Daud, Salomo, Ezra dan Nehemia adalah tokoh-tokoh  penting  dalam  PL  yang  dilahirkan  oleh  zamannya masing-masing.  Sedangkan  dalam  PB antara  lain  kita  mengenal  Yesus, Yohanes Pembaptis, Petrus, Paulus dan Timotius yang  juga mempunyai gaya kepemimpinan sendiri-sendiri.

Dalam  perbendaharaan bahasa Indonesia banyak  istilah  yang dipergunakan  mengacu pemimpin seperti: presiden, ketua, kepala,  direktur, manajer,  komandan, koordinator, boss, penguasa,  mandataris  dan eksekutif (CEO).  Sadar atau tidak sadar istilah-istilah di atas  telah pula  masuk  ke  dalam  gereja dan  komunitas  kristiani  lainnya dengan segala konsekwensinya.
         
Banyak istilah-istilah PL dan PB yang mengacu pada pemimpin, misalnya:  gembala, pelayan, penatalayan, pejabat,  rasul,  nabi, guru  (rabbi), diakon, bishop,  dan penilik.  Saya hanya  bermaksud  membahas  dan mengajak kita merenungkan arti dan makna dua sebutan pertama yang sama-sama muncul dalam PL dan PB yaitu "gembala" dan "pelayan". Karena dalam kedua istilah itu sudah tercakup makna leadership (kepemimpinan) Kristen yang sebenarnya.


Perkataan  gembala (poimen dalam PB dan ro'e dalam PL) di  Timur Tengah sebagaimana terdapat dalam  PL dan PB mempunyai dua makna  (1) pemberi  makan (feeder) dan (2) penjaga (protector).  Gembala  di Palestina adalah seorang yang bertugas untuk menuntun kawanan domba (ternak) yang digembalakannya ke padang  rumput yang  hijau dan ke air yang tenang (Mazmur 23:1-2). Gembala  juga bertanggungjawab  atas  keselamatan kawanan  domba gembalaannya dari ancaman binatang buas (Mazmur 23: 4).
         
Daud  adalah  seorang gembala, pernah  bertarung  dengan singa untuk melindungi domba-dombanya. (I Samuel 17:34-37). Dalam  PL  (yang  diteruskan juga  dalam  PB)  kata  gembala diadopsi untuk menyebut seorang raja atau pemimpin. Dalam  Yehezkiel 34:1-4, mengenai para pemimpin orang Israel yang korup, nabi bernubuat: “Lalu  datanglah  firman Tuhan kepadaku:  Hai  anak  manusia, bernubuatlah melawan gembala-gembala Israel, bernubuatlah dan katakanlah kepada mereka, kepada gembala-gembala itu: Beginilah  firman  Tuhan Allah: Celakalah  gembala-gembala  Israel, yang  menggembalakan dirinya sendiri!   Bukankah  domba-domba yang  seharusnya digembalakan oleh gembala-gembala itu?  Kamu menikmati susunya, dari bulunya kamu buat pakaian, yang gemuk kamu  sembelih,  tetapi domba-domba itu  sendiri  tidak  kamu gembalakan.”
         
Sama seperti gambaran pemimpin umat  yang korup seperti  terdapat dalam  kitab Yehezkiel ini, Yesus mengkritik para pemimpin  orang Israel  pada zamannya, yakni imam-imam kepala,  ahli-ahli  taurat dan orang-orang Farisi, yang tidak melaksanakan tugasnya  sebagai gembala  (feeder dan protector). Yesus menyebut  mereka  sebagai upahan yang bukan gembala. Seorang upahan, ketika melihat serigala datang dia lari meninggalkan domba-domba itu, sehingga  serigala itu menerkam dan mencerai-beraikan domba-domba itu  (Yohanes 10:  12). Yesus meluruskan arti dan makna kata  pemimpin  sebagai gembala dengan menjabarkan ciri-ciri seorang gembala. Berdasarkan Yohanes  10  ini kita melihat beberapa ciri  utama  dari  seorang pemimpin kristen yang baik:

1.   Seorang pemimpin Kristen harus beriman. Seorang pemimpin kristen harus masuk melalui pintu dan pintu yang dimaksud adalah Yesus Kristus (Yohanes 10: 7 “Akulah pintu ke domba-domba itu”). Artinya seorang pemimpin  Kristen, pertama-tama haruslah orang yang percaya kepada Yesus Kristus.  Pemimpin Kristen yakin bahwa Kristuslah yang  memanggil dia  untuk tugas itu. Dia melihat jabatannya,  posisinya adalah  mandat kristus. Karena itu seorang pemimpin Kristen  yang baik adalah pertama-tama seorang Kristen yang sungguh-sungguh beriman.

Pertanyaan diskusi dan renungan: Apa makna beriman? (Roma 4: 16-25)

2.   Seorang pemimpin Kristen rela berkorban demi orang-orangnya. Yesus berkata: "Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya."  (Yohanes 10:11). Yesus adalah gembala yang baik  yang menjadi  model bagi pemimpin Kristen. Dia  memberikan  nyawanya bagi manusia yang adalah  domba-dombanya. Pemimpin yang baik selalu mempunyai komitmen yang untuk itu dia rela mati. Yesus, Paulus, Petrus, Nommensen,  Martin Luther King Jr,  dsb. adalah tipe  pemimpin Kristen yang baik, yang  rela  berkorban,  bahkan sampai  mati demi cita-cita perjuangannya yang  diyakini  sebagai panggilan  Tuhan.  Karena itu dari seorang pemimpin  dibutuhkan kerelaan untuk berkorban,

Pertanyaan diskusi dan renungan: Apa makna berkorban bagi seorang pemimpin? (Bandingkan Markus 10: 36-45)

  1. Pemimpin Kristen yang baik mengenal dan mengasihi yang dipimpinnya. Karena tidak dikenal maka tidak disayang. Mengenal,  menghafal  dan mengingat nama  orang  serta  memanggil mereka  menurut namanya masing-masing bukan pekerjaan  yang  gampang.  Menghafal  nama dan mengingat nama berkaitan  erat  dengan kedekatan hubungan antara pemimpin dengan anggota. Makin dekat hubungan kita  dengan seseorang, makin gampang kita mengingat  nama  orang itu. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang bukan saja  mengenal nama-nama  orang yang dipimpinnya, tetapi  juga  masalah-masalah dan  kebutuhan-kebutuhan mereka. Dengan pengenalan  itulah,  maka seorang pemimpin yang bertindak sebagai gembala melakukan tugasnya  sebagai  feeder dan protector. Hanya pemimpin  yang  mengenal nama  yang dipimpinlah  yang mendapat pengakuan dari yang  dipimpin:  "Benar,  orang  ini adalah pemimpin".  Karena  itu seorang pemimpin yang baik harus mengenal dan mengasihi orang-orang yang dipimpinnya.

Pertanyaan diskusi dan renungan: Apa makna mengenal dan mengasihi di sini? (Bandingkan 1 Korintus 13: 1-13).

  1.  Pemimpin Kristen yang baik diikuti oleh orang-orangnya. Pemimpin  yang  baik akan menjadi panutan   yang  layak  diikuti. Suara pemimpin yang baik tidak hanya dikenal, tetapi juga diakui. Dalam  teori kepemimpinan terdapat dua otoritas  pemimpin.  Satu, otoritas  eksternal, yakni kuasa karena adanya  jabatan,  pangkat dan  kedudukan.  Misalnya seorang jenderal berkuasa  kepada  para prajurit  karena  sang jenderal memiliki bintang  sebagai  simbol kuasa  eksternal. Seorang polisi lalulintas berkuasa  mentertibkan lalulintas kalu dia mengenakan pakaian dinasnya. Kalau tidak, dia tidak diperdulikan  orang di tengah jalan.  Otoritas yang kedua  adalah otoritas moral, yaitu kuasa moral yang dimiliki seorang  pemimpin yang dapat menggerakkan orang lain untuk mengikuti  jejaknya. Otoritas  internal  ini datang dari dalam diri  seorang  pemimpin melalui  keteladannya. Paulus berkata kepada Timoteus:  Janganlah seorangpun  menganggap engkau rendah karena engkau muda.  Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam  tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam  kesucianmu." (I Timoteus 4:12). Karena itu seorang pemimpin Kristen  yang baik  harus menunjukkan citra sebagai teladan.

Pertanyaan diskusi dan renungan:  Apa syarat-syarat agar kita bisa menjadi teladan? (Bandingkan 1 Timotius 3: 1-12: Yohannes 13: 1-20)


Note:
Pdt. Dr. Richard Daulay adalah mantan Sekretaris Umum PGI periode 2004 - 2009, saat ini sedang study di Columbia University, New York.